Aku hanyalah seorang gadis yang tidak pandai merangkai kata-kata menjadi untaian kalimat indah dan nikmat untuk dibaca... Percaya?
:))

Let me be the one... (SS501)


Jumat, Juli 02, 2010

The Actor, the Word, and the Only Jolie


Timeline : Januari 2002. Liburan Musim Dingin, masih Liburan Kenaikan Tingkat. Jolie, 14 tahun. Nathan, 16 tahun.
Rated : T
Genre : (Still) Romance; K-drama.
Disclaimer : Jolie Campbell adalah milikku. Nathan A. Montague adalah milik PM-nya. Dan cameo-nya? Hmm… Milikku juga, boleh tidak? *plak* :P
Note/Warning : Masih tetap sama dengan yang sebelumnya. Harap jangan dikorelasikan dengan kehidupan remaja di belahan bumi bagian timur *ehem* ;)

—Fanfic ini didedikasikan untuk my cece with her new job (later—or already?) *hwaiting! :D *, semua PM yang mencintai charanya, juga untuk setiap chara yang berharga bagi PM-nya…—

The Actor, the Word, and the Only Jolie

Cause everytime we touch, I get this feeling.
And everytime we kiss I swear I can fly.
Can't you feel my heart beat fast, I want this to last.
Need you by my side.


Pria itu mengulum lembut bibir kekasihnya. Mengecapnya—rasa vanilla, rasa yang sama seperti dessert mereka malam ini. “Masuklah,” lirihnya kemudian dengan mata yang setengah terpejam setelah beberapa saat. Tampak kepulan uap tipis lolos dari sela mulutnya yang mencuri sedikit kehangatan dari bibir ranum sang pasangan. “Hujan salju kelihatannya mau turun sebentar lagi,” bisik Leonardo DiCaprio tersenyum. Tangannya membukakan pintu di sebelah mereka, mempersilakan wanita yang dicintainya untuk masuk terlebih dahulu ke mobil. “Lagipula di villa nanti, aku yakin pasti akan lebih banyak yang bisa kita lakukan.” Garis senyum Leo melebar.

Vancouver memang bukan tergolong pilihan umum aktor Hollywood sekaliber dirinya. Dibandingkan negara tropis yang selalu menjadi destinasi favorit teman-teman sejawatnya kala musim dingin datang, pada kesempatan ini pria itu justru tertarik menjalani liburannya masih di benua yang sama. Dia dan kekasihnya berencana menetap di Vancouver selama beberapa hari kedepan—menyisihkan segala pekerjaan untuk sementara waktu, dan menikmati kebebasan untuk bangun lebih siang di setiap paginya. Ancaman paparazzi yang tidak akan gampang menyerah menguntit mereka kemana saja mungkin belum habis masa berlakunya. Tetapi untuk kali ini, Leo tidak peduli. Makan malam yang menyenangkan bersama wanitanya menjaga suasana hatinya tetap bagus hingga sekarang ini.

Leo beralih ke sisi lain kendaraannya. Dan dia seharusnya telah duduk di belakang kemudi kalau saja tidak ada panggilan yang menundanya untuk mengambil gerakan lebih lanjut. Seorang pemuda, berusia sekitar belasan tahun, berjalan tergesa menghampirinya dan bahkan nyaris berlari dalam kecepatannya yang semakin mendekat. Kening Leo mengernyit. Sungguh luar biasa lelaki yang beranjak dewasa itu, dia tidak tergelincir sedikitpun meskipun seluruh permukaan di kaki mereka terlapisi hamparan salju yang lumayan tebal.

“Ini.” Leo mengamati pemuda itu yang lalu agak membungkukkan badannya dengan sebelah telapak memegangi lutut dalam usaha mengatur sirkulasi pernafasannya. Selembar saputangan berwarna soft-pink dan sebuah alat tulis bertinta hitam diulurkan. “Tolong ditandatangani,” pintanya menatap canggung ke arah Leo.

“Untuk pacarmu?”

Lelaki muda itu sekilas mengangguk. Tubuhnya kini ditegakkan sambil merapikan mantel yang tadinya mengendur di bahunya. “Jolie Campbell.” Nathan tersenyum singkat pada pemeran tokoh utama film Romeo and Juliet di hadapannya. Jari-jarinya menyingkirkan sejumput serpihan putih dan beku yang mendarat di rambutnya sendiri. “‘Special to Jolie Campbell’. Jangan lupa mencantumkannya, Sir.”

**o**


Jolie Campbell menggigit bibir bawahnya. Kepalanya disandarkan pasrah pada pundak kekasihnya. Langit sudah tidak lagi mengutus butiran-butiran saljunya dalam misi untuk turun menciumi bumi. Lalu lintas pada badan jalan juga begitu sepi tanpa ada yang berlalu lalang mengusik ketenangan malam. Mayoritas Vancouver telah jatuh pulas lebih dini dibuai cuaca yang menyelimuti dengan intensitas dingin yang kadarnya di bawah normal dari hari biasa. Hanya ada satu dua cahaya dari rumah penduduk sekitar yang memetakan masih adanya tanda kehidupan di alam sadar selain Jolie dan Nathan yang sedang menyusuri trotoar dalam perjalanan pulang.

Pharamaond Resto, sebuah restoran kecil yang letaknya cukup dekat dengan villa keluarga Montague tersebut merupakan lokasi dimana mereka baru saja melalui jam makan malam bersama. Tempatnya bisa dibilang tidak terkenal, tidak mewah, dan tidak ramai pengunjung dengan dekorasi yang sederhana pula. Namun baik Jolie maupun Nathan, keduanya menyukai suasana cozy Pharamaond dan menu bercita rasa tinggi yang disuguhkan. Identitas mereka tentu beresiko dikenali jika meninggalkan villa dengan tidak ada persiapan. Karena itu, masing-masing memakai kacamata berlensa bening yang bertengger apik di puncak hidung—samaran a la ‘Clark Kent’ sesuai usulan Nathan.

“Nathan, maafkan aku.” Jolie mengubah posisi kepalanya. Dagunya diletakkan pada bahu Nathan yang tengah menggendongnya dirinya di punggung lelaki itu. Rangkulan lengannya pada leher Nathan diperkencang. “Aku selalu menyusahkanmu. Maaf…” ulang Jolie untuk kesekian kalinya. Dia mencoba menafsirkan perubahan sekecil apapun pada raut wajah kekasihnya yang tetap memandang lurus ke depan. Lelakinya itu dari tadi belum memberikan respon sedikitpun dan membuatnya semakin diliputi perasaan tidak enak.

Fakta bahwa seorang Leonardo DiCaprio hadir secara nyata di sebuah restoran yang sama dengan mereka pada waktu yang tidak pernah terduga olehnya sempat memicu adrenalin Jolie sehingga terlalu antusias dan bersikap spontan layaknya fans yang bertemu idola. Demi mendapatkan tanda tangan Jack Dawson yang bangkit dari Samudera Atlantik itu, Jolie mencederai pergelangan kaki kanannya sendiri dalam ketidakhati-hatiannya melangkah. Nathan sudah khawatir dengan kekasihnya itu yang terduduk di lantai, tidak jauh dari samping counter ketika giliran mereka tiba membayar bill. Tetapi mengabaikan keadaannya yang menyedihkan (namun untungnya tidak memalukan karena tidak banyak saksi mata di sana), Jolie justru meminta lelakinya menyusul cepat sang aktor yang akan meninggalkan Pharamaond Resto. Dipaksakannya saputangan punyanya dan pena milik pegawai restoran yang memperhatikan mereka ke genggaman kekasihnya. “Kejarlah dia untukku, Nathan,” mohon Jolie tadi khawatir dan akhirnya menyebabkan lelaki muda Montague itu tidak sanggup menolak. “Please…” Sedikit keterlaluan memang kalau dipikirkan sekarang.

“Ponselmu.”

“Ha? Apa?” Jolie terkejut. Tanpa sadar dia ternyata telah melupakan sejenak kegiatan membujuk kekasihnya dan tenggelam dalam memori akan peristiwa di Pharamaond Resto sebelumnya. Suara Nathan yang tiba-tiba itu berhasil menyentaknya dari lamunan dan menyadarkan Jolie kalau lelaki itu masih dalam tahap enggan menggubris permintaan maafnya.

“Ponselku? Ada apa dengan ponselku?” tanya Jolie tidak paham maksud dari satu patah kata barusan. Didengarnya Nathan berdehem pelan saat dia merapatkan pipinya ke rahang kekasihnya itu.

“Bergetar terus. Ponselmu bergetar tiada henti di punggungku,” jelas Nathan acuh tak acuh. Intonasinya datar seolah berbicara pada angin. “Mengapa tidak kau angkat, heh? Mengganggu saja.”

**o**


Nathan sedang memandangi layar notebooknya saat sms pertama dari Jolie meniupkan nyawa pada telepon selularnya.

Love ya, my MoonlightMan yang tampan. Xoxo

Sender:
Mademoiselle Campbell
Received:
11:37:01 PM
Today


Tatapan mata Nathan menerawang. Ditelitinya lagi isi smsnya. Jolie sepertinya belum tidur gara-gara masih merasa bersalah padanya. Dan kelihatannya, kekasihnya itu kini mengubah strateginya dengan tidak lagi mengungkit kejadian di Pharamaond Resto tersebut. Gadis itu mengganti ucapan ‘maaf’-nya dengan kata sihir yang menghubungkan mereka berdua—cinta; juga menyebutnya ‘MoonlightMan yang tampan’, eh?

Nathan mendengus geli. Dia sebenarnya tidak bermaksud menyudutkan Jolie. Lelaki muda Montague itu hanya mau mengerjai kekasihnya sebagai wujud kompensasi atas kecemburuannya menyaksikan gadis itu menaruh ketertarikan pada lelaki lain. Leonardo DiCaprio memang aktor favorit Jolie sejak dulu—Nathan mengetahui hal itu. Tetapi meskipun demikian, dia tidak rela kalau harus berbagi perhatian dan hati gadisnya dengan Mister DiCaprio walaupun pria itu cuma berstatus ‘idola’ bagi kekasihnya.

To: Mademoiselle Campbell
Text:
Love you too, my DolphinGirl yang ‘sangat merepotkan’.
Xoxo? Apa itu?
Istirahatlah. Kau pasti lelah.


Nathan menekan-nekan keypad ponselnya dengan giat. Jolie itu miliknya, batinnya. Jolie Campbell adalah milik Nathan Alexander Montague.

Sending message… Delivered to: Mademoiselle Campbell.




1 New Message… Open.


Nathan menarik nafasnya penuh-penuh. Ada denyut aneh sekaligus menyenangkan yang bergelanyut gemas di rongga dalamnya ketika sms berikutnya dari Jolie dibacanya. Mendadak, entah bagaimana, Nathan menemukan ide yang menggelitik perutnya. Jolie Campbell… Liburan ini tidak akan seru tanpa meneruskan pemberian kejutan-kejutan kecil untuk gadis kesayangannya itu.

Tidak lelah. Tidak mau tidur.
Mau tahu arti xoxo? Aku ke tempatmu…

Sender:
Mademoiselle Campbell
Received:
11:43:15 PM
Today


Typing…

To: Mademoiselle Campbell
Text:
Ok.


Sending message…


…Delivered to: Mademoiselle Campbell.


**o**

“Nathan, pintumu tidak terkunci. Jadi aku masuk saja karena kupikir mungkin kamu… Nathan?”

Jolie tercekat. Ada yang janggal di sini. Jelas ada yang tidak wajar dengan ruang tidur Nathan dibandingkan kamarnya di seberang. Jantung Campbell remaja itu berdegup kisruh. Penerangan utama di ruangan ini tidak menyala. Hanya ada cahaya temaram dari lilin-lilin yang ditempatkan di beberapa titik dengan gorden di jendela yang ditutup berlapis. Dia bisa mencium aroma bunga-bungaan merebak memenuhi udara. Alunan piano berirama romantis menari indah di telinganya. Dan yang paling menakjubkan dari semuanya adalah, pemandangan di satu-satunya tempat tidur yang jaraknya terpaut lebar dengan ambang pintu dimana Jolie masih berdiri tegang. Nathan yang bertelanjang dada dengan celana panjang berbahan ringan sebagai bawahannya sedang duduk bersila di ranjang tersebut. Ekspresinya begitu serius dengan kedua siku bertumpu pada lutut. Cahaya yang berasal dari laptop di depan lelaki itu membuat gesturenya semakin menawan dan menggoda.

“Kemarilah,” perintah Nathan datar.

Jolie menutup pintu di belakangnya dengan gugup. “Bolehkah?” Dia ragu untuk beranjak. Keringat dingin membasahi tengkuk Jolie dengan cepat. Namun teringat niatnya meluluhkan sikap kaku lelaki itu sebelum hari ini berakhir, dia memantapkan hatinya melangkah lebih jauh ke dalam dan mengambil posisi di sebelah kekasihnya. Jolie berusaha meredam getaran di suaranya. “Apa lampu kamarmu rusak, Nathan?” Matanya tidak berani melirik. Jemarinya menyampirkan helaian rambutnya lalu memilin-milin ujung kimono tidurnya yang tidak diikat. Jolie tidak yakin bunyi detakan organ dalam dadanya mampu tersembunyi baik sekarang ini.

“Tidak,” jawab Nathan ringkas tanpa memalingkan muka. Terdengar klik-klik dari mouse yang dimainkannya. Lelaki itu tetap bertekun pada halaman demi halaman website yang terbuka di hadapannya dan bersikukuh dengan gaya stay-cool-nya.

“Err… Kamu bisa masuk angin kalau…”

“Aku malah kepanasan,” potong Nathan mementahkan perkataan Jolie yang tidak terselesaikan. Dia terlihat aktif membuka tab baru dan mengetikkan address untuk login email. “Sepertinya aku akan demam karena salju yang nakal sempat mampir ke kepalaku,” alasannya dengan nada jenuh.

Jolie refleks menolehkan wajahnya. Apakah karena dirinya? Gadis itu beringsut mendekat. “Benarkah?” Dia panik dengan Nathan yang kemudian membekap mulutnya sendiri. “Are you okay?” seru Jolie mengguncang bahu lelaki itu. “Nathan?” Telapak Jolie meraba dahi lelaki itu dan lehernya, mencari perbedaan suhu di antara mereka. “Tapi tidak hangat kok,” konfirmasinya polos. Raut Jolie berubah kebingungan dengan kekasihnya yang tiba-tiba tertawa memeluknya.

“Jolie, Jolie… Tentu saja tidak, Honey. Aku cuma main-main. Mana mungkin aku selemah itu.” Nathan mengecup kening Jolie sebentar. Telunjuk dan ibu jarinya mencubit halus pipi gadisnya yang telah merah padam layaknya kepiting rebus. “Maaf aku bersikap menyebalkan di perjalanan pulang kita tadi. Kau tidak marah, bukan?”

Jolie menanggapi sorot teduh dari warna biru bening mata kekasihnya dengan tidak percaya. Benaknya berdesing kuat. “Lepaskan aku,” berontak Jolie merasa bodoh. Dia berkelit dari rangkulan Nathan di pinggangnya. Didorongnya dada lelaki itu. Sensasi asing melandanya ketika tangannya menyentuh kulit yang terbuka lapang tersebut—tapi itu tidak penting. “Kamu jahat, Nathan. Padahal aku cemas sekali kalau kamu sakit. Kamu tega mempermainkanku…”

Jolie mencapai tepi ranjang lelaki itu dalam satu gerakan. Dia memasang sandal tidurnya dan bersiap lari keluar. Jolie tidak terima dengan perlakuan Nathan padanya. Namun di saat yang bersamaan pula, tidak diduganya lelakinya itu berhasil meraihnya dan mencegahnya pergi. Nathan kali ini lebih sigap dan langsung mengunci tubuh mungil Jolie di dekapannya yang kuat.

“Lepas…” Jolie mencoba melawan. Badannya menggeliat liar. “Mengapa kau selalu menarikku? Sesak…” protes Jolie keras. Kepalan gadis itu memukul-mukul dada bidang Nathan yang meringkusnya.

Nathan menghela nafas berat. “Kau sendiri, mengapa kau selalu lari dariku, Jolie?” tuntutnya. Rangkulannya pada gadis itu diperlonggar. “Kau tidak bahagia denganku?”

Jolie menghentikan serangannya. “Itu karena…” Terengah-engah kelelahan, dia dan Nathan lalu sama-sama terdiam. Keduanya saling melempar pandang tidak mau mengalah di awal hingga akhirnya, Jolie menunduk melihat lelakinya yang melunak seiring waktu yang perlahan memasuki hari yang baru. Pukul dua belas lewat kini jarum jam berdetik konstan. Nathan membelai sabar pipi Jolie.

“Maaf. Maafkan aku, Nathan. Aku salah,” aku Jolie rendah. Dirapatkannya dirinya dengan lelaki itu dan mulai membalas rengkuhan kekasihnya. “Padahal aku sudah berjanji akan menemanimu apapun yang terjadi.” Jolie meletakkan kepalanya di lekukan leher Nathan. Lambat-lambat dia terisak dan menyesali tingkahnya yang kekanak-kanakan. “Maafkan aku. Jangan lepaskan aku, Nathan. Please, jangan pernah lepaskan aku…”

**o**




“Bagaimana, Jolie?” Nathan menemukan pipi gadisnya memerah. Lelaki muda Montague itu tersenyum senang mengamatinya. “Apakah enak?” Jari-jarinya mengelus rambut Jolie dengan sayang. Lilin-lilin yang dipersiapkan Nathan agak terburu-buru tadi sekarang meliuk-liukkan apinya seakan tidak sadar diri untuk tidak mengganggu. Playlist pada notebook di dekat mereka beralih memutar ulang track yang berada di urutan paling atas—lagu dansa di Pesta Awal Tahun dua tahun lalu.

Jolie mengangguk malu-malu. “Iya. Coklat ini sungguh nikmat dan menenangkan, Nathan. Terima kasih.” Gadis itu menyeruput lagi minumannya pelan-pelan lalu berdecak puas. Lidahnya menjilat samar rasa manis yang tertinggal di bibir bawahnya.

“Ngomong-ngomong, apa yang akan kamu lakukan setelah lulus nanti?” Jolie memperhatikan isi mug yang digenggamnya erat seolah ada hal menarik yang lain di dalamnya selain coklat. Kelopaknya tidak berkedip dengan tidak normal. “Ini tahun terakhirmu di Beauxbatons. Kamu pasti sudah mempunyai rencana untuk masa depanmu. Aku tahu itu.”

Nathan tidak langsung menjawab. Alisnya bertaut tanda berpikir. Dia mengedikkan bahu. “Tidak juga.” Nathan menghabiskan coklatnya. “Itu tergantung keputusan penasehat keluarga kami. Mungkin aku akan melanjutkan sekolah di universitas Muggle, belajar bisnis. Tapi… bisa saja perusahaan Daddy diserahkan seluruhnya untuk kukelola. Tahun depan Montague Group diprediksi sangat sibuk. Tingkat persaingan akan semakin ketat dengan berbagai riset teknologi yang berkembang pesat; itu yang kutelusuri di internet sebelum kau datang.”

“Lalu… untuk pendampingmu?”

“Pendamping-ku?” Nathan menangkap pancaran kesedihan dari mata Jolie padanya. Kekasihnya itu meremas tangannya lembut.

“Aku sadar aku tidak pantas mengatakannya, Nathan.” Jolie mendesah galau. Telapaknya lembab berpegangan pada lelakinya. “Namun aku tetap perempuan.” Dia menelan ludah. “Tunangan baru, teman kuliah, sekretaris muda yang seumuran… Semua berpeluang menggantikanku di sisimu. Meskipun aku percaya padamu, Nathan, tapi aku takut. Aku takut akan hadir ‘Jolie yang lain’ yang lebih memenuhi kriteria keluargamu… dan diterima hatimu. Di Beauxbatons, walaupun harus saling menghindar, setidaknya aku masih bisa nekad menemui. Tetapi jika nanti, jika nanti kamu…” Jolie mengatupkan mulutnya. Dia menggeleng tidak berdaya. Tidak sanggup Jolie membayangkan kemungkinan terburuk yang besar menyongsongnya. Kehilangan Nathan adalah mimpi sekaligus kenyataan yang melumpuhkannya. Jiwanya akan timpang. Lelaki itu sudah terlanjur menjadi bagian dari dirinya.

Nathan memindahkan mugnya. Keheningan menyergap diantara dirinya dan Jolie. Dia telah menebak arah pembicaraan ini sebenarnya. Namun Nathan memilih bungkam dan membiarkan Jolie mengungkapkan dulu beban yang menekan mereka dari sudut pandang gadis itu. Dipeluknya Jolie dengan hangat.

“Masa depan adalah misteri. Tapi cuma ada satu ‘Jolie’ yang kukenal di hidupku,” bisiknya tegas. Nathan mengusap-usap teratur punggung kekasihnya. Disesapnya wangi gadis yang disukainya itu. “Dan ‘the only Jolie’ itu hanya dirimu. Jolie Campbell. Apakah itu tidak cukup?”

"Nathan, aku..."

—Fin—




...
-.-)a Entah kenapa, susah banget untuk menyelesaikan fanfic yang ini. Miyane…
And *lirik-lirik* err… okay. Aku sudah tidak mencoba membayangkan lagi bagaimana kalau Katie Holmes melarikan diri dari Tom Cruise, dan Tom Felton juga kabur dari Jade Olivia, lalu keduanya memadu kasih seusai acara MTV Movie Awards lalu. Yeah, itu mustahil—walaupun sepertinya Katie mungkin sama menariknya buat The Best Villain, dan setingkat berpengalaman dari yang bernama Jade itu. LOL *abaikan, abaikan saja kalimat-kalimat barusan* :D
Credit to: Everytime We Touch by Cascada.
And for your information:
-Clark Kent dalam kehidupan normalnya berhasil menggunakan kacamata untuk menutupi identitasnya yang seorang Superman *I know… this is only a film :)) *
-Romeo and Juliet dirilis tahun 1996. Titanic dirilis tahun 1997. Sumber: Wikipedia berbahasa Inggris.
-Sejak sebelum tahun 2002, dunia teknologi sudah mengenal laptop yang bisa digunakan untuk berinternet. Pada Macworld Expo di New York tahun 1999, Steve Jobs membuat kagum semua orang ketika membawa Apple iBook G3 ke panggung dan memakainya untuk surfing internet. Sumber: ini

0 komentar: